TUGAS
ILMU BUDAYA DASAR
Budaya dan Globalisasi
-PROSTITUSI-
Di susun oleh :
Nama : Siti Hasanah
Npm : 1A514355
Kelas
: 1PA04
Mata Kuliah : Ilmu Budaya Dasar
FAKULTAS
PSIKOLOGI
JURUSAN
PSIKOLOGI
UNIVERSITAS
GUNDARMA
DEPOK
2014
ABSTRAK
Kondisi
ketahanan nasional dalam sosial budaya dapat juga dipengaruhi oleh salah satu
fenomena yaitu fenomena PSK (Pekerja Seks Komersial). Kebudayaan yang sudah ada
sejak puluhan tahun ini membawa pengaruh terhadap sosial budaya, fenomena ini harus di ubah
dengan berbagai cara positif karena tidak sesuai dengan landasan idiil Negara
Indonesia dan menyangkut kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.
Kehidupan
sosial budaya bangsa dan Negara Indonesia merupakan kehidupan yang menyangkut
aspek kemasyarakatan dan kebudayaan yamg dijiwai oleh falsafah dasar Pancasila.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai-nilai luhur yang ada
dalam diri bangsa Indonesia. Karena itu , titik sentral kebudayaan adalah
terletak pada potensi sumber daya manusiannya. Oleh karena itu, dalam menjaga
sosial budaya banyak aspek yang harus dipertimbangkan, terutama aspek sumber
daya manusia karena semua sistem yang baik adalah yang terencana apabila sumber
daya manusia tidak baik maka sistem yang ada percuma saja karena semua itu
kembali lagi ke manusia yang menjalankannya.
Begitu juga dengan fenomena prostitusi yang semakin membudaya
di Indonesia tercinta ini, penyimpangan sosial macam itu harusnya dimusnahkan karena
jelas-jelas merusak namabaik bangsa dan juga merusak warga Negara. Seks dan Wanita
adalah dua kata kunci yang terkait dengan prostitusi. Dikarenakan wanita sebagai
simbol keindahan, maka setiap yang indah maka akan menjadi target pasar yang
selalu mampu menghasilkan uang.
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Pelacuran
sering disebut sebagai prostitusi (dari bahasa latin Prostituere atau
Prostauree) yang menurut Commege adalah suatu perbuatan seorang wanita memperdagangkan
atau menjual tubuhnya, yang dilakukan untuk memperoleh bayaran dari lelaki yang
datang, dan wanita tersebut tidak ada pencarian nafkah lainnya kecuali yang
diperolehnya dari hubungan sebentar dengan orang banyak.
Di
Indonesia prostitusi sudah ada semenjak masa kerajaan-kerajaan Jawa dimana peradagangan
perempuan pada saat itu merupakan pelengkap dari system pemerintahan feodeal. Pada
masa itu konsep kekuasaan raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung
dan mulia (Hull, 1997). Dengan kekuasaan ini berarti mereka menguasai tanah,
benda, bahkan nyawa hambasahaya mereka. Kekuasaan ini tercermin dari banyaknya selir
yang mereka miliki. Hal ini terjadi karena rakyat menganggap bahwa dengan melahirkan
anak-anak dari raja akan meningkatkan status yang dimiliki. Keadaan inilah yang
membentuk landasan bagi perkembangan industry seks yang ada saat ini (Hull,
1997).
Saat
ini pelaku prostitusi yang semakin meningkat adalah remaja. Remaja secara disadari
maupun tidak dapat terkena imbas dari globalisasi yang negatif, Terutama bila tumbuh
kembangnya tidak diimbangi dengan perhatian dan bimbingan orang tua. Zaman yang
semakin modern seperti tersedianya koneksi internet yang murah dan mudah diakses,
handphone yang berkamera yang banyak disalahgunakan untuk menyimpan dan menyebarkan
foto maupun video panas membuat remajal ebih cepat matang secara seksual dan kemudian
berusaha mencari penyaluran dengan jalan yang salah.
Dorongan
seks yang tinggi dan belum waktunya terutama akibat rangsangan dari luar seperti
yang telah dijelaskan di atas, kemudian majalah dan situs porno, film biru,
terlibat pergaulan bebas, gaya pacaran yang melampaui batas, akan mendukung terhadap
jalan prostitusi apabila tidak ditangani dengan benar. Remaja dengan rasa ingin
tahunya yang tinggi mulai mencoba mencaritahu, selanjutnya perlahan ia merasa butuh
akan penyaluran seks. Apabila kecanduan dan lepas kontrol, ia akan mulai masuk kedalam
dunia prostitusi.
Semakin
maraknya perilaku seks bebas pada kalangan anak remaja memberikan keprihatinan
yang mendalam pada kita semua, dari penelitian yang dilakukan secara perorangan
atau badan memperlihatkan kenaikan yang begitu signifikan. Bukan Cuma itu tetapi
juga marak diantara remaja dengan mudahnya menjajakan diri tanpa memikirkan dampak
penyakit, moral dan psikososial yang ditimbulkannya.
1.2.
TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui Prostitusi lebih dalam.
2. Untuk mengetahui Seks yang benar.
3. Untuk mengetahui peristiwa penyebab prostitusi.
4. Untuk mengetahui motif yang melatarbelakangi timbulnya
prostitusi.
5. Untuk mengetahui penyakit yang timbul akibat praktik
prostitusi.
6. Untuk mengetahui akibat prostitusi.
7. Untuk mengetahui fungsi dan partisipasi prostitusi.
8. Untuk mengetahui cara penanggulangan prostitusi.
1.3.
MANFAAT PENULISAN
1. Memberikan pemahaman kepada pembaca tentang prostitusi.
2. Agar
pembaca dapat menjaga diri dan keluarganya sehingga terhindar dari prostitusi.
3. Agar pembaca dapat memberikan tindakan yang tepat
kepada para pelaku prostitusi.
4. Memberikan sumbangan atau saran
penanggulangan prostitusi.
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1.
PENGERTIAN PROSTITUSI
Profesor
W.A Bonger dalam tulisannya Maatschappelijke Oorzaken der Prostitutie menulis
defenisi sbb; “Prostitusi ialah gejala
kemasyarakatan di mana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan
seksual sebagai mata pencaharian.”
Peraturan
Pemerintah Daerah DKI Jakarta Raya tahun 1967 mengenai penanggulangan masalah
pelacuran, menyatakan “Wanita tunasusila
adalah wanita yang mempunyai kebiasaan melakukan hubungan kelamin di luar
perkawinan, baik dengan imbalan jasa maupun tidak”
Sedang
pasal 296 KUHP mengenai prostitusi tersebut meyatakan “Barang siapa yang pekerjaanya atau kebiasaanya, dengan sengaja
mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda
sebanyak-banyaknya seribu rupiah.”
Jelasnya,
pelacuran itu bisa dilakukan baik oleh kaum wanita maupun pria. Jadi, ada
persamaan predikat lacur antara laki-laki dan wanita yang bersama-sama
melakukan perbuatan hubungan kelamin di luar perkawinan. Dalam hal ini,
perbuatan cabul tidak hanya berupa hubungan kelamin di luar nikah saja, akan
tetapi termasuk pula peristiwa homoseksual dan permainan seksualnya.
Selanjutnya, defenisi pelacuran dapat
disimpulkan sebagai berikut :
a.
Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola
organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam
bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang, disertai
eksploitas dan komersialisasi seks yang impersonal tanpa afeksi sifatnya.
b.
Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri (persundalan) dengan jalan
menjualbelikan badan, kehormatan, dan kepribadian kepada banyak orang untuk
memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran.
c.
Pelacuran ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan
badannya untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah.
Dengan adanya komersialisasi dan barter seks perdagangan
tukar-menukar seks dengan benda bernilai, maka pelacuran merupakan profesi yang
paling tua sepanjang sejarah kehidupan manusia.
2.2.
KATEGORI PELACURAN
a)
Pergundikan : pemeliharaan bini tidak resmi, bini
gelap atau perempuan piaraan. Mereka hidup sebagai suami istri, namun tanpa
ikatan perkawinan. Pada zaman belanda disebut nyai.
b)
Tante girang atau Loose Married Woman : Wanita yang sudah
kawin, namun tetap melakukan hubungan erotik dan seks dengan laki-laki lain
baik secara iseng untuk mengisi waktu kosong, bersenang-senang just for fun dan
mendapatkan pengalaman-pangalaman seks lain, maupun secara intensional untuk
mendapatkan penghasilan.
c)
Gadis-gadis Panggilan : Gadis-gadis dan wanita-wanita
biasa yang menyediakan diri untuk dipanggil dan dipekerjakan sebagai prostitue,
melalui saluran-saluran tertentu.
d)
Gadis-gadis Bar atau B-girls : Gadis-gadis yang
bekerja sebagai pelayan-pelayan bar sekaligus bersedia memberikan pelayanan
seks kepada para pengunjung.
e)
Gadis-gadis Juvenile Delinguent : Gadis-gadis muda dan
jahat, yang didorong oleh ketidakmatangan emosinya dan
retardasi/keterbelakangan inteleknya, menjadi sangat pasif dan sugestibel
sekali. Karakternya sangat lemah. Sebagai akibatnya, mereka mudah sekali jadi
pecandu obat-obat bius (ganja, heroin, morfin, dan lain-lain), sehingga mudah
tergiur melakukan perbuatan-perbuatan immoril seksual dan pelacuran.
f)
Gadis-gadis Binal atau Free Girls : Di Bandung mereka disebut sebagai “bagong lieur” (babi
hutan yang mabuk). Mereka itu adalah gadis-gadis sekolah atau putus sekolah,
putus studi di akademi atau fakultas dengan pendirian yang “brengsek” dan
menyebarluaskan kebebasan seks secara ekstrem, untuk mendapatkan kepuasan
seksual. Mereka menganjurkan seks bebas dan cinta bebas.
g)
Gadis-gadis Taxi ( di Indonesia ada juga gadis-gadis becak) : Wanita-wanita
atau gadis-gadis panggilan yang ditawarkan dibawa ke tempat “plesiran” dengan
taxi atan becak.
h)
Penggali Emas atau Gold-Diggers : Gadis-gadis dan
wanita-wanita cantik –ratu
kecantikan, pramugarimannequin,
penyanyi, pemain panggung, bintang film, pemain sandiwara teater atau opera,
anak wayang, dan lain-lain – yang pandai merayu dan bermain cinta, untuk
mengeduk kekayaan orang-orang yang berduit.
i)
Hostes atau pramuria : Yang menyemarakkan kehidupan malam
dalam nighclub-nighclub. Pada intinya, profesi hostes merupakan bentuk
pelacuran halus. Sedang pada hakikatnya, hostes itu adalah predikat baru dari
pelacuran. Sebab, di lantai-lantai dansa mereka membiarkan diri dipeluki,
diciumi, dan diraba-raba seluruh badannya. Juga di meja-meja minum badannya
diraba-raba dan direma-remas oleh langganannya. Para hostes ini harus melayani
makan, minum, dansa, dan memuaskan naluri-naluri seks para langganan dengan
jalan menikmati tubuh para hostes/pramuria tersebut. Dengan demikian, langganan
bisa menikmati keriaan atau kesenangan suasana tempat-tempat hiburan.
j)
Promiskuitas/promiscuity : Hubungan seks secara bebas dan
awut-awutan dengan pria mana pun juga, dilakukan dengan banyak lelaki.
2.3.
JENIS PROSTUSI DAN LOKALISASI
Jenis prostitusi dapat dibagi
menurut aktivitasnya, dapat dibagi menjadi :
a)
Prostitusi yang terdaftar
Pelakunya diawasi oleh bagian Vice Control dari
Kepolisian, yang dibantu dan bekerja sama dengan Jawatan Sosial dan Jawatan
Kesehatan. Pada umumnya mereka dilokalisasi dalam satu daerah tertentu.
b)
Prostitusi yang tidak terdaftar
Termasuk dalam kelompok ini ialah mereka yang
melakukan prostitusi secara gelap-gelapan dan liar, baik secara perorangan
maupun dalam kelompok. Perbuatannya tidak terorganisasi, tempatnya pun tidak
tertentu. Mereka tidak mencatatkan diri kepada yang berwajib.
Kompleks pelacuran yang terdaftar dan teratur dengan rapi di Indonesia
ialah Silir, yang terletak di pinggiran kota Solo sebelah Timur. Bagi
pengunjungnya disediakan karcis masuk, dan semua kendaraan harus diparkirkan di
sebelah luar.
Daerah Wonogiri yang secara geofisik sangat miskin
gersang dan kering pada musim pecekik menjadi supplayer/penghasil wanita
tunasusila dan penghuni Silir paling banyak. Maka prostitusi dianggap sebagai
“obat mujarab” untuk memerangi kemiskinan dan perut yang lapar.
Menurut
jumlahnya, prostitusi dapat dibagi menjadi :
a)
Prostitusi yang beroperasi secara individual merupakan single operator
b)
Prostitusi yang bekerja dengan bantuan organisasi dan sindikat yang
teratur rapi akan diatur melalui satu system kerja suatu organisasi
Sedangkan menurut tempat
penggolongannya atau lokasinya, prostitusi dapat dibagi menjadi :
a)
Segregasi atau lokalisasi, yang
terisolasi atau terpisah dari kompleks penduduk lainnya. Kompleks ini dikenal
sebagai daerah lampu merah, atau petak-petak daerah tertutup
b)
Rumah-rumah panggilan (call houses, tempat rendezvous, parlour)
c) Di balik front organisasi
atau di balik bisnis-bisnis terhormat.
Lokalisasi
itu pada umumnya terdiri atas rumah-rumah kecil yang berlampu merah, yang
dikelola oleh mucikari atau germo. Di luar negri, germo mendapat sebutan
“madam”, sedang di Indonesia mereka biasa dipanggil dengan sebutan “mama” atau
“mamy”. Di tempat tersebut disediakan segala perlengkapan, tempat tidur, kursi
tamu, pakaian, dan alat berhias. Disiplin di tempat-tempat lokalisasi tersebut
diterapkan dengan ketat. Wanita-wanita pelacur itu harus membayar pajak rumah
dan pajak obat-obatan, sekaligus juga uang keamanan agar mereka terlindungi dan
terjamin identitasnya.
Tujuan
dari lokalisasi ialah :
a)
Untuk menjauhkan masyarakat umum dari pengaruh-pengaruh immoral dari praktik
pelacuran.
b)
Memudahkan pengawasan para wanita
tunasusila, terutama mengenai kesehatan dan keamanannya. Memudahkan
tindakan preventif dan kuratif terhadap penyakit kelamin.
c)
Mencegah pemerasan yang keterlaluan terhadap para pelacur.
d) Memudahkan bimbingan mental bagi para pelacur,
dalam usaha rehabilitasi dan resosialisasi. Khususnya diberikan pelajaran agama
guna memperkuat iman, agar bias tabah dalam penderitaan.
e)
Kalau mungkin diusahakan pasangan hidup bagi para wanita tunasusila yang benar-benar
bertanggung jawab, dan mampu membawanya ke jalan benar. Usaha ini bisa
mendukung program pemerataan penduduk dan memperluas kesempatan kerja di daerah
baru.
Suasana
dalam kompleks lokalisasi wanita pelacur itu sangat kompetitif, khususnya dalam
bentuk persaingan memperebutkan langganan. Apa yang disebut sebagai rumah
pangilan atau call houses ialah rumah biasa di tengah kampung atau lingkungan
penduduk baik-baik, dengan organisasi yang teratur rapi dalam bentuk sidikat
yang secara gelap menyediakan macam-macam tipe wanita pelacur. Keadaan rumahnya
tidak menyolok, agak tersembunyi atau anonim. Gadis-gadis yang diperlukan
dipanggil melalui telepon atau dijemput dengan kendaraan khusus milik
organisasi, disebut pula sebagai call-girls. Mereka itu pada umumnya melakukan
relasi seks klandestin/gelap sebagai part time job atau pekerjaan sambilan.
Ringkasnya,
pelacuran itu tumbuh dengan pesatnya di kota-kota yang tengah berkembang.
Semakin besar kebutuhan kaum pria akan pemuasan dorongan-dorongan seksnya
sebagai kompensasi dari kegiatan kerjanya setiap hari untuk melepaskan segenap
ketegangan, semakin pesat pula bertumbuhan pusat-pusat pelacuran di kota-kota
dan ibu kota.
2.4.
SEKS DAN PELACURAN
Seks
merupakan energi psikis yang ikut mendorong manusia untuk aktif bertingkah
laku. Tidak hanya berbuat di bidang seks saja, yaitu melakukan relasi seksual
atau bersenggama, akan tetapi juga melakukan kegiatan-kegiatan nonseksual.
Misalnya ikut mendorong untuk berprestasi di bidang ilmu pengetahuan seni,
agama, sosial, budaya, tugas-tugas moril, dan lain sebagainya. Sebagai energi
psikis, seks menjadi motivasi atau tenaga dorong untuk berbuat atau bertingkah
laku. Freud menyebut seks sebagai libido sexualis (libido = gasang, dukana,
dorongan hidup nafsu erotik). Seks juga merupakan mekanisme bagi manusia untuk
mengadakan keturunan. Karena itu seks dianggap sebagai mekanisme yang sangat
vital, di mana manusia bisa mengabadikan jenisnya.
Libido
adalah Istilah nafsu birahi, hasrat seks atau libido pada dasarnya punya makna
sama, yaitu perasaan seksual hebat dari seseorang pada orang lainnya (normalnya
terhadap pasangan lawan jenisnya). Banyak faktor pendukung gairah seksual,
termasuk rangsangan fisik dan kondisi biologis, seperti jenis kelamin dan
hormon.
Tingkat
libido bisa sangat bervariasi pada masing-masing orang, dan di antara pria
maupun wanita. Bahkan ditegaskan oleh berbagai penelitian bahwa tak ada tingkat
gairah seksual yang normal. Ilmu psikologi meyakini, libido adalah kombinasi
kepuasan hormonal dan fisikal (seperti merangsang saraf tubuh tertentu) yang
dibentuk oleh pengaruh sosial dari luar, seperti norma budaya.
Di
samping relasi sosial biasa, di antara wanita dan pria itu bisa berlangsung
hubungan khusus yang sifatnya erotis, yang disebut sebagai relasi seksual.
Dengan relasi seksual ini kedua belah pihak yang berada situasi khusus bisa
menghayati bentuk kenikmatan dan puncak kepuasan seksual atau orgasme, jika hal
itu dilakukan dalam hubungan yang intim dan normal sifatnya.
Hubungan seksual yang normal itu
mengandung pengertian sebagai berikut :
(a) Hubungan tersebut tidak menimbulkan efek-efek
merugikan, baik bagi diri sendiri maupun partnernya
(b) Tidak menimbulkan konflik-konflik psikis dan
tidak bersifat paksaan atau perkosaan.
2.5.
PERISTIWA PENYEBAB TERJADINYA PELACURAN
Berlangsungnya
perubahan-perubahan sosial budaya yang serba cepat dan perkembangan yang tidak
sama dalam kebudayaan, mengakibatkan ketidakmampuan banyak individu untuk
menyesuaikan diri, mengakibatkan timbulnya konflik-konflik eksternal dan
internal, juga penyimpangan dalam masyarakat dan dalam diri pribadi.
Peristiwa-peristiwa tersebut memudahkan individu menggunakan pola-pola
respon/reaksi yang menyimpang dari pola-pola umum yang berlaku. Dalam hal ini
ada pola pelacuran, untuk mempertahankan hidup ditengah-tengah hiruk-pikuk alam
pembangunan, khususnya di Indonesia.
Beberapa
peristiwa sosial penyebab timbulnya pelacuran antara lain sebagai berikut.
(a)
Tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran. Juga tidak ada larangan
terhadap orang-orang yang melakukan relasi seks sebelum pernikahan atau di luar
pernikahan. Yang dilarang dan diancam dengan hukuman ialah: praktik germo
(Pasal 296 KUHP) dan mucikari (Pasal 506 KUHP). KUHP 506: Barang siapa yang
sebagai mucikari mengambil untung dari perbuatan cabul seorang perempuan,
dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun. Namun, dalam praktik
sehari-hari, pekerjaan sebagai mucikari ini selalu ditoleransi, secara
konvensional dianggap sah ataupun dijadikan sumber pendapatan dan pemerasan
yang tidak resmi.
(b)
Adanya keinginan dan dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks,
khususnya diluar ikatan perkawinan.
(c)
Komersialisasi dari seks, baik di pihak wanita maupun germo-germo dan
oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan pelayanan seks. Jadi, seks dijadikan
alat yang jamak guna untuk tujuan-tujuan komersialisasi di luar perkawinan.
(d)
Dekadensi moral, merosotnya norma-norma susila dan keagamaan pada saat-saat
orang mengenyam kesejahteraan hidup.
(e)
Semakin besarnya penghinaan orang terhadap martabat kaum wanita dan harkat
manusia.
(f) Kebudayaan eksploitasi pada zaman modern ini,
khususnya mengeksploitasi kaum lemah/wanita untuk tujuan-tujuan komersil.
(g)
Ekonomi laissez-faire menyebabkan timbulnya sistem harga berdasarkan hukum
“jual dan permintaan”, yang diterapkan pula dalam relasi seks.
(h)
Peperangan dan masa-masa kacau (dikacaukan oleh gerombolan-gerombolan
pemberontak) di dalam negeri meningkatkan jumlah pelacuran.
(i)
Adanya proyek-proyek pembangunan dan pembukaan daerah-daerah pertambangan
dengan konsentrasi kaum pria, sehingga mengakibatkan adanya ketidakseimbangan
rasio dan wanita di daerah-daerah tersebut.
(j)
Bertemunya macam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan kebudayaan setempat. Di
daerah-daerah perkotaan dan ibukota, mengakibatkan perubahan-perubahan sosial
yang cepat dan radikal, sehingga masyarakatnya menjadi sangat instabil. Terjadi
banyak konflik dan kurang adanya persetujuan mengenai norma-norma kesusilaan
diantara para anggota masyarakat. Kondisi sosial jadi terpecah-pecah sedemikian
rupa, sehingga timbul satu masyarakat yang tidak bisa diintegrasikan.
Terjadilah disorganisasi sosial, sehingga mengakibatkan kepatahan pada kontrol
sosial. Tradisi dan norma-norma susila banyak dilanggar. Maka tidak sedikit
wanita-wanita muda yang mengalami disorganisasi pribadi, dan bertingkah laku
semau sendiri memenuhi kebutuhan seks dan kebutuhan hidupnya dengan jalan
melacurkan diri.
2.6. MOTIF-MOTIF YANG MELATARBELAKANGI PELACURAN
(a) Adanya kecenderungan
melacurkan diri pada banyak wanita untuk menghindarkan diri dari kesulitan
hidup, dan mendapatkan kesenangan melalui jalan pendek. Kurang pengertian,
kurang pendidikan, dan buta huruf, sehingga menghalalkan pelacuran.
(b)
Ada nafsu-nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, dan
keroyalan seks. Histeris dan hyperseks, sehingga tidak merasa puas mengadakan
relasi seks dengan satu pria/suami.
(c)
Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan, ada
pertimbangan-pertimbangan ekonomis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya,
khususnya dalam usaha mendapatkan status sosial yang lebih baik.
(d)
Aspirasi materiil yang tinggi pada diri wanita dan kesenangan ketamakan
terhadap pakaian-pakaian indah dan perhiasan mewah. Ingin hidup bermewah-mewahan,
namun malas bekerja.
(e)
Kompensasi terhadap perasaan-perasaan inferior. Jadi ada adjustment yang
negatif, terutama sekali terjadi pada masa puber. Ada keinginan untuk melebihi
kakak, ibu sendiri, teman putri, tante-tante atau wanita-wanita mondain
lainnya.
(f)
Rasa ingin tahu gadis-gadis cilik dan anak-anak puber pada masalah seks, yang
kemudian tercebur dalam dunia pelacuran oleh bujukan-bujukan bandit-bandit
seks.
(g)
Anak-anak gadis memberontak terhadap otoritas orang tua yang menekan banyak
tabu dan peraturan seks. Juga memberontak terhadap masyarakat dan norma-norma
susila yang dianggap terlalu mengekang diri anak-anak remaja mereka lebih
menyukai pola seks bebas.
(h)
Pada masa kanak-kanak pernah melakukan relasi seks atau suka melakukan hubungan
seks sebelum perkawinan) untuk sekadar iseng atau untuk menikmati “masa indah”
di kala muda. Atau sebagai simbol keberanian dan kegagahan telah menjelajahi
dunia seks secara nyata. Selanjutnya, gadis-gadis tadi terbiasa melakukan
banyak relasi seks secara bebas dengan pemuda-pemuda sebaya, lalu terperosoklah
mereka ke dalam dunia pelacuran.
(i)
Gadis-gadis dari daerah slums (perkampungan-perkampungan melarat dan kotor
dengan lingkungan yang immoril yang sejak kecilnya selalu melihat persenggamaan
orang-orang dewasa secara kasar dan terbuka, sehingga terkondisikan mentalnya
dengan tindak-tindak asusila). Lalu menggunakan mekanisme pelacuran untuk
mempertahankan hidupnya.
(j)
Oleh bujuk rayu kaum laki-laki dan para calo, terutama yang menjanjikan pekerjaan-pekerjaan
terhormat dengan gaji tinggi. Misalnya sebagai pelayan toko, bintang film,
peragawati, dan lain-lain. Namun pada
akhirnya, gadis-gadis tersebut dengan kejamnya dijebloskan ke dalam
bordil-bordil dan rumah-rumah pelacuran.
(k)
Banyaknya stimulasi seksual dalam bentuk: film-film biru, gambar-gambar porno,
bacaan cabul, gang-gang anak muda yang mempraktikkan relasi seks, dan
lain-lain.
(l)
Gadis-gadis pelayan toko dan pembantu rumah tangga tundukdan patuh melayani
kebutuhan-kebutuhan seks dari majikannya untuk tetap mempertahankan
pekerjaannya.
(m)
Penundaan perkawinan, jauh sesudah kematangan biologis, disebabkan oleh
pertimbangan-pertimbangan ekonomis dan standar hidup yang tinggi. Lebih suka
melacurkan diri daripada kawin.
(n)
Disorganisasi dan disintegrasi dari kehidupan keluarga, broken home, ayah atau
ibu lari, kawin lagi atau hidup berrsama dengan partner lain. Sehingga anak
gadis merasa sangat sengsara batinnya, tidak bahagia, memberontak, lalu
menghibur diri terjun dalam diri dunia pelacuran.
(o)
Mobilitas dari jabatan atau pekerjaan kaum laki-laki dan tidak sempat membawa
keluarganya. Misalnya, pekerjaan pengemudi, tentara, pelaut, pedagang, dan kaum
politisi, yang membutuhkan pelepasan bagi ketegangan otot-otot dan syarafnya
dengan bermain perempuan.
(p)
Adanya ambisi-ambisi besar pada diri wanita untuk mendapatkan status sosial
yang tinggi, dengan jalan yang mudah tanpa kerja berat, tanpa suatu skill atau
keterampilan khusus.
(q)
Adanya anggapan bahwa wanita memang dibutuhkan dalam macam-macam permainan
cinta, baik sebagai iseng belaka maupun sebagai tujuan dagang.
(r)
Pekerjaan sebagai pelacur tidak memerlukan keterampilan/skill, tidak memerlukan
inteligensi tinggi, mudah dikerjakan asal orang yang bersangkutan memiliki kecantikan,
kemudaan, dan keberanian. Tidak hanya orang-orang normal, wanita-wanita yang
agak lemah ingatan pun bisa melakukan pekerjaan ini.
(s)
Anak-anak gadis dan wanita-wanita muda yang kecanduan obat bius (hash-hish,
ganja, morfin, heroin, likeur/minuman dengan kadar alkohol tinggi, dan
lain-lain) banyak menjadi pelacur untuk mendapatkan uang pembeli obat-obatan
tersebut.
(t)
Oleh pengalaman-pengalaman traumatis (luka jiwa) dan shock mental misalnya
gagal dalam bercinta atau perkawinan dimadu, ditipu, sehingga muncul kematangan
seks yang terlalu dini dan abnormalitas seks. Contoh: seorang gadis cilik yang
pernah diperkosa kesuciannya oleh laki-laki, menjadi terlalu cepat matang
secara seksual ataupun menjadi patah hati dan penuh dendam kesumat, lalu menerjunkan
diri dalam dunia pelacuran.
(u)
Ajakan teman-teman sekampung/sekota yang sudah terjun terlebih dahulu dalam
dunia pelacuran.
(v)
Ada kebutuhan seks yang normal, akan tetapi tidak dipuaskan oleh pihak suami.
Misalnya karena suami impoten, lama menderita sakit, banyak istri-istri lain
sehingga sang suami jarang mendatangi istri yang bersangkutan, lama bertugas
dii tempat yang jauh, dan lain-lain.
Sedang
sebab-sebab timbulnya prostitusi di pihak pria antara lain ialah sebagai
berikut.
(a)
Nafsu
kelamin laki-laki untuk menyalurkan kebutuhan seks tanpa satu ikatan.
(b)
Rasa iseng dan ingin mendapatkan pengalaman relasi seks diluar ikatan
perkawinan. Ingin mencari variasi dalam relasi seks.
(c)
Istri sedang berhalangan haid, mengandung tua atau lama sekali mengidap
penyakit, sehingga tidak mampumelakukan relasi seks dengan suaminya.
(e)
Istri menjadi gila.
(f)
Ditugaskan di tempat jauh, pindah kerja atau didetasir di tempat lain, dan
belum sempat atau tidak dapat memboyong keluarga.
(g)
Cacat jasmani, sehingga merasa malu untuk kawin; lalu menyalurkan
kebutuhan-kebutuhan seksnya dengan wanita-wanita pelacur. Misalnya, karena
bongkok, buruk muka, pincang buntung lengan, dan lain-lain.
(h)
Karena profesinya sebagai penjahat, sehingga tidak termungkinkan membina
keluarga.
(i)
Tidak mendapatkan kepuasan dalam penyaluran kebutuhan seks, dengan partner atau
istrinya.
(j)
Tidak perlu bertanggung jawab atau akibat relasi seks dan dirasakan sebagai
lebih ekonomis. Misalnya, tidak perlu memelihara anak keturunan, tidak perlu
membina rumah tangga dan menjamin kehidupan istri. Namun bisa bersenang-senang
dalam lautan asmara dengan macam-macam wanita
2.7.
PENYAKIT YANG TIMBUL AKIBAT PELACURAN
(a) Menimbulkan dan
menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit. Penyakit yang paling banyak
terdapat adalah syphilis dan gonorrhoe (kencing nanah), terutama akibat
syphilis, apabila tidak mendapatkan pengobatan yang sempurna , bisa menimbulkan
cacat jasmani dan rohani pada diri sendiri dan anak keturunan. Antara lain ialah:
-
Congenital
syphilis (sipilis herediter/keturunan), yang menyerang bayi yang masih dalam
kandungan, sehingga terjadi abortus/keguguran atau bayi lahir mati. Jika bayi
bisa lahir biasanya kurang bobot, kurang darah, tuli, buta, kurang
intelegensinya, defekt (rusak cacat) mental dan defekt jasmani lainnya.
-
Syphilitic
amentia, yang mengakibatkan rusak ringan, retardasi atau lemah ingatan dan
imbisilitas. Sedangkan yang berat bisa mengakibatkan serangan epilepsi atau ayan, kelumpuhan
sebagian dan kelumpuhan total, bisa jadi idiot psikotik, atau menurunkan
anak-anak idiocy.
-
Gonorrhea
(kencing nanah) disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae yang menginfeksi
lapisan dalam uretra, leher rahim, rektum, tenggorokan, dan bagian putih mata
(konjungtiva). Penis akan mengeluarkan nanah berwarna putih kuning atau putih
kehijauan. Gonorrhea bisa menyebar melalui aliran darah kebagian tubuh lainnya,
terutama kulit dan persendian.
-
Herpes,
lebih dikenal dengan sebutan herpes genitalis (herpes kelaim). Penyebab herpes
ini adalah Virus Herpes Simplex (HSV) dan di tularkan melalui hubungan seks,
baik vaginal, anal atau oral yang menimbulkan luka atau lecet pada kelamin dan
mengenai langsung bagian luka/bintil/kutil.
-
Klamidia,
mempunyai gejala mirip gonore, penyakit ini dapat menyebabkan artritis parah
dan kemandulan pada pria. Disebabkan oleh bakteri Chlamydia trachomatis.
Infeksi ini biasanya kronis, karena sebanyak 70% perempuan pada awalnya tidak
merasakan gejala apapun sehingga tidak memeriksakan diri.
-
Kutil
kelamin, disebabkan oleh Human Papiloma Virus.Gejala yang ditimbulkan :
tonjolan kulit seperti kutil besar disekitar alat kelamin (seperti jengger
ayam). Komplikasi yang mungkin terjadi : kutil dapat membesar seperti tumor;
bisa berubah menjadi kanker mulut rahim; meningkatkan resiko tertular HIV-AIDS.
-
Hepatitis
B, disebabkan oleh hubungan seks yang tidak aman. Hepatitis B dapat berlanjut
ke sirosis hati atau kanker hati.
(b)
HIV-AIDS, sejenis virus yang menyebabkan AIDS. Virus
ini menyerang sel darah putih manusia yang merupakan bagian paling penting
dalam system kekebalan tubuh. AIDS atau Acquired Immuno Deficiency Syndrome
adalah kumpulan gejala-gejala akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh. Hampir
tidak ada gejala yang muncul pada awal terinfeksi HIV. Tetapi ketika berkembang
menjadi AIDS, maka orang tersebut perlahan-lahan akan kehilangan kekebalan
tubuhnya sehingga mudah terserang penyakit dan tubuh akan melemah. Merusak
sendi-sendi kehidupan keluarga. Suami-suami yang tergoda oleh pelacur biasanya
melupakan fungsinya sebagai kepala keluarga, sehingga keluarga menjadi
berantakan.
(c)
Mendemoralisasi atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan
khususnya anak-anak muda remaja pada masa puber dan adolesensi.
(d)
Berkolerasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika (ganja,
heroin, morfin, dan lain-lain)
(e)
Merusak sendi-sendi moral, susila hukum,dan agama. Terutama sekali menggoyahkan
norma perkawinan, sehingga menyimpang dari adat kebiasaan, norma hukum, dan
agama, karena digantikan dengan pola pelacuran dan promiskuitas, yaitu
digantikan dengan pola pemuasan kebutuhan seks dan kenikmatan seks yang
awut-awutan, murah serta tidak bertanggung jawab. Bila pola pelacuran ini telah
membudaya, maka rusaklah sendi-sendi kehidupan yang sehat.
(f)
Adanya peneksploitasian manusia oleh manusia lain. Pada umumnya wanita-wanita
pelacur itu cuma menerima upah sebagian kecil saja dari pendapatan yang harus
diterimanya, karena sebagian besar harus diberikan kepada germo, calo-calo,
centeng-centeng, pelindung, dan lain-lain. Dengan kata lain, ada sekelompok
benalu yang memeras darah dan keringat para pelacur ini.
(g)
Bisa menyebabkan terjadinya disfungsi seksual, misalnya: impotensi, anorgasme,
nymphomania, satyriasis, ejakulasi premature yaitu pembuangan sperma sebelum
zakar melakukan penetrasi dalam vagina atau liang sanggama, dan lain-lain.
2.8.
AKIBAT PELACURAN
(a)
Secara sosialogis prostitusi merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma
dan etika yang ada di dalam masyarakat.
(b)
Dari aspek pendidikan prostitusi merupakan kegiatan yang demoralisasi.
(c)
Dari aspek kewanitaan, prostitusi merupakan kegiatan merendahkan martabat
wanita.
(d)
Dari aspek ekonomi, prostitusi dalam prakteknya sering terjadi pemerasan tenaga
kerja
(e)
Dari aspek kesehatan, praktek prostitusi
merupakan media yang sangat efektif untuk menularnya penyakit kelamin dan
kandungan yang sangat berbahaya.
(f)
Dari aspek kamtibmas praktek prostitusi
dapat menimbulkan kegiatan-kegiatan kriminal.
(g)
Dari aspek penataan kota, prostitusi dapat menurunkan kualitas dan estetika
lingkungan perkotaan.
2.9.
PENANGGULANGAN PROSTITUSI
Pada garis besarnya, usaha untuk mengatasi masalah tunasusila ini dapat
dibagi menjadi dua, Yaitu :
Ø Usaha yang
bersifat preventif
Ø Tindakan
yang bersifat represif dan kuratif
Usaha
yang bersifat preventif diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan
untuk mencegah terjadinya pelacuran. Usaha ini antara lain berupa :
a)
Penyempurnaan perundang-undangan mengenai larangan atau penyelenggaraan
pelacuran
b)
Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohanian
c)
Menciptakan bermacam-macam kesibukan dan kesempatan rekreasi
d)
Memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita, disesuaikan dengan kodrat dan
bakatnya
e)
Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan
keluarga
f)
Pembentukan badan atau tim koordinasi dari semua usaha penanggulangan pelacuran
yang dilakukan oleh beberapa instansi sekaligus mengikutsertakan potensi
masyarakat lokal
g)
Penyitaan terhadap buku-buku dan majalah-majalah cabul, gambar-gambar porno,
film-film biru serta sarana-sarana lainnya yang merangsang nafsu seks
h)
Meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya
Sedangkan,
usaha yang represif dan kuratif dimaksudkan sebagai kegiatan untuk menekan
(menghapuskan, menindas) dan usaha menyembuhkan para wanita dari ketunasusilaan
untuk kemudian membawa mereka ke jalan yang benar. Usaha represif dan kuratif
ini antara lain berupa :
a)
Melalui lokalisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi, orang melakukan
pengawasan/kontrol yang ketat
b)
Diusahakan melalui aktivitas rehabilitas dan resosialisasi, agar mereka bisa
dikembalikan sebagai warga masyarakat yang susila
c)
Penyempurnaan tempat-tempat penampungan bagi para wanita tunasusila yang
terkena razia
d)
Pemberian suntikan dan pengobatan pada interval waktu tetap
e)
Menyediakan lapangan kerja baru
f)
Mengadakan pendekatan terhadap pihak keluarga para pelacur dan masyarakat asal
mereka mau menerima kembali bekas-bekas wanita tunasusila itu
g)
Mencari pasangan hidup yang permanen/suami bagi para wanita tunasusila
BAB
4
PENUTUP
4.1.
KESIMPULAN
a)
Prostitusi ialah gejala kemasyarakatan
di mana wanita atau pria menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual
sebagai mata pencaharian.
b)
Ada banyak motif yang melatarbelakangi kegiatan pelacuran,misalnya dilakukan
secara sadar karena tekanan ekonomi, dijebak teman atau germo,ataupun akibat
kelainan seks pada diri sang pelacur dan disorganisasi kehidupan
keluarga/broken home.
c)
Akibat – akibat dari pelacuran tersebut adalah maraknya penyakit menular
seksual,penyakit seks seperti HIV/AIDS, merusak sendi-sendi moral, susila
hukum,dan agama,berkorelasi dengan dunia narkotika dan kriminalitas, dan
merusak kehidupan generasi bangsa,karena pelacuran juga banyak dilakukan
kalangan muda/generasi penerus bangsa.
d)
Kenyataan membuktikan bahwa semakin ditekan pelacuran, maka semakin luas
menyebar prostitusi tersebut akibat jumlah pelacur semakin banyak dengan
tingkah laku yang menyolok sehingga terjadi perubahan sikap dan kebudayaan dari
masyarakat terhadap prostitusi. Stigma atau noda sosial dan
eksploitasi-komersialisasi seks yang semula dikutuk menjadi diterima sebagai
gejala sosial yang umum.
e)
Meski
pada dasarnya pelacuran sudah ada sejak zaman dahulu, namun tetap saja Budaya
Barat berperan kuat dalam mempengaruhi gaya hidup masyarakat Indonesia saat
ini. Seperti dalam gaya hidup, seks, berpakaian, sampai cara berfikir. Ini yang
menyebabkan banyak wanita ataupun lelaki di Indonesia meniru atau mencoba melakukan
hal yang sama seperti di Barat sana tanpa berfikir bahwa adat dan budaya Barat
berbeda dengan Budaya Indonesia.
4.2.
SARAN
Adapun
saran dari Tugas ini adalah bila pemerintah tidak mampu sepenuhnya
menghapuskan kegiatan pelacuran, ada beberapa saran yang dapat dilakukan untuk
mengurangi kegiatan pelacuran dan usaha menyehatkan kembali moral bangsa
terutama generasi muda yang produktif, saran tersebut antara lain penyempurnaan
perundang-undangan mengenai pelacuran, perlindungan kaum wanita tunasusila,memberikan
penyuluhan seks secara benar, penyediaan lapangan kerja, penyitaan sarana –
sarana berbau porno,mengadakan kegiatan rehabilitasi dan resosialisasi pada
pelacur. Dan diatas semua saran tersebut,yang terpenting adalah mensejahterakan
kehidupan rakyat.
·
August
Burns, dkk. 2000. Pemberdayaan Wanita dalam Bidang Kesehatan. Yogyakarta :
Yayasan Essentia Medica.
·
Kartono,
Kartini. 2007. Patologi Sosial. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
·
Lubis,
Mariska.2010. Wahai Pemimpin Bangsa!!! Belajar Dari SEKS Dong!. Jakarta : PT
Grafindo anggota Ikapi
·
Fathurrofiq.
2014. Sexual Quotient. Bandung : PT Remaja Rosdakarya